Senin, 05 September 2011

Who Are You? [Part 3]




Aku terbangun. Rupanya tadi aku tak sadarkan diri. Aku terkejut. “Di mana aku sekarang? Apa yang terjadi denganku?”
Aku berada di sebuah ruangan kecil yang pengap, entah berada di mana. Aku tak bisa bebas. Aku duduk di sebuah kursi dan tangan serta kakiku diikat. Seorang laki-laki berkaca mata hitam menghampiriku dan memandang wajahku lekat-lekat. “Gadis yang manis,” katanya. “Andai kau tidak mengganggu kami, kami tidak akan membawamu ke sini.”
“Di mana aku sekarang?” tanyaku kasar padanya. Sebelum dia menjawab pertanyaanku dia mengelilingi ruangan dan melepas kaca matanya. Ya Tuhan, dia tampan sekali. Dia seperti model. Badannya ramping, rambutnya yang acak tapi keren menambah kesan pada dirinya bahwa dia adalah laki-laki yang tampan tetapi kurang bisa menjaga diri. Kulitnya putih dan matanya coklat, tatapannya menghanyutkan. Senyumnya yang manis membuatku terpikat padanya. Tapi, aku tidak boleh. Dia adalah penjahat yang telah membawaku ke sini. Seharusnya, aku membencinya. Tapi malah sebaliknya, aku menyukainya. “Ah, aku ini bodoh sekali” pikirku dalam hati.
“Kau berada di ujung paling barat kota ini.” Jawaban laki-laki itu membuatku ternganga.
“Itu… itu…  jauh sekali dari rumahku!”teriakku.
“Tenanglah, kami akan mengembalikanmu tepat pada waktunya. Ini hanya untuk kelancaran rencana. Tenang saja, aku akan menemanimu dan menjagamu di sini sampai kau dikembalikan.” Kalimat terakhir yang di ucapkannya membuatku merasa aneh. Sepertinya pipiku memerah. Beruntung sekali aku, dijaga seorang lelaki tampan sepertinya. Dia mengambil kursi dan duduk di sebelahku. Kemudian, dia merangkulku, seperti, aku ini miliknya. Hatiku terasa meleleh, tapi rasa waspada menyergapku.
“Kau tahu,” dia mengawali pembicaraan. “Gadis semanis dirimu tidak seharusnya berada di sini. Tapi karena ulahmu yang nakal itulah yang membuat rencana kami hampir gagal dan terpaksa membawamu ke tempat ini.”
“Rencana? Rencana apa?”
“Haha…” dia tertawa. “Aku sudah terlalu banyak memberitahumu. Lebih baik, pembicaraan kita sekarang beralih ke hal-hal yang lebih menarik.”

*maaf br segini... aku lg brusaha nyelesein tgs dulu.. smg bs cpt kelarr~

Who Are You? [Part 2]



“Kalau kamu belum di jemput jam empat sore nanti, kamu boleh mampir ke rumahku, yang berjarak kurang lebih 200 meter dari sini. Setiap sore, papaku biasa meminum kopi sambil melihat langit sore yang indah di teras. Kamu kenal papaku kan? Rumahku berada di sebelah kiri jika dilihat dari arah timur.”

“Terima kasih,” kata Yong Shin sambil tersenyum. 

“Biasanya, kamu dijemput papa atau mamamu, kan?”tanya Yong Shin.   

“Iya Tapi mereka sedang sibuk sekali sekarang. Mereka tidak punya waktu untuk menjemputku” jawabku sambil membalas senyumnya yang hangat. “Aku pulang dulu ya… nanti sore, kalau sempat, aku datang ke sini lagi.” 

Sebenarnya, aku tidak tega meninggalkannya sendirian. Tapi, apa daya, kakiku sudah mulai pegal-pegal dan ingin cepat sampai di rumah. Akhirnya, aku meninggalkan Yong Shin dan kembali melanjutkan perjalananku menuju ke rumah. 

            Ketika sampai di rumah, aku segera berbaring di tempat tidur. Kakiku pegal sekali. Mungkin karena aku jarang berolahraga yang membuatku pegal-pegal begini. Siang itu aku tidak makan, dan lebih memanjakan kakiku dengan tidur siang, tak banyak beraktivitas. Saat sedang asyik beristirahat, bibiku yang biasa menemaniku di rumah membangunkanku. Katanya ada salah seorang temanku yang datang. Dengan sikap malas, aku bangun dan mendatangi teman yang mengganggu mimpiku itu. 
Yong Shin berdiri dengan wajah cemas. Ketika dia bertemua denganku dia langsung menjelaskan semuanya. “Tadi… tadi…” Yong Shin berbicara terbata-bata. 
“Apa?” tanyaku tak sabar. 
“Tadi sewaktu aku menggali lebih dalam 1 meter, aku menemukan sebuah peti. Aku berusaha membukanya dan berhasil. Hanya saja, yang membuatku takut, peti itu berisi emas dalam jumlah besar!” 

Aku mulai tertarik dengan hal itu. Mataku terpaku pada wajahnya. Aku tak bisa mempercayai ini. Tapi aku ingin membantunya menyelesaikan masalah ini. Dia membawaku ke makam tadi dan menunjukkan peti yang dibicarakan dalam percakapan kami tadi. Dan ternyata benar. Aku ingin membantunya menyelesaikan masalah ini. Tapi, aku sendiri juga tidak tahu apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Tiba-tiba, sebuah ide melintas di pikiranku. “Sembunyikan harta karun itu. Masukkan lagi tanah yang kau gali sesuai permintaan mereka. Aku akan pergi ke pos polisi terdekat untuk meminta bantuan. Sembunyikan harta itu di tempat yang aman. Kalau perlu di rumahku saja. Bibiku pasti mengerti, dan jika kedua orang itu datang sebelum aku kembali, katakanlah pada mereka bahwa kau telah melakukan perintah mereka” kataku sambil bersiap-siap pergi. Aku tidak mengerti dari mana aku mendapatkan ide tersebut. Tapi, akan tetap kujalani.

Kakiku yang tadinya merasa pegal, sekarang sudah tidak lagi. Aku terus berjalan hingga perempatan yang berada di ujung jalan dekat rumahku. Biasanya, di sana selalu ada polisi yang berjaga. Dan kata-kataku ini memang benar. Seorang polisi bertubuh kekar sedang mengawasi keadaan lalu lintas yang terus berjalan.

Aku mengetuk pintu pos dan berkata “permisi, pak.” Dia hampir terjungkal dari tempat duduknya. Tapi kemudian dia berdiri dan bertanya sopan. “Ada apa, dik?” 

“Saya membutuhkan bantuan bapak” kataku sambil menceritakan yang kami alami. Aku tidak melihat wajahnya. Meskipun dari nada bicaranya dia terlihat sebagai orang yang lembut dan sopan, tetapi wajahnya cukup mengerikan juga. Saat berbicara, aku memberanikan diri untuk melihat wajahnya. Tapi, rupanya, keberanianku belum cukup untuk membuatku melihat wajahnya. Aku hanya melihat mulutnya, dan sekilas, aku seperti melihat senyum sinis tadi. Tapi itu hanya sekilas, dan membuatku bertanya apakah ini benar ata hanya khayalanku saja? Tentu saja aku tidak boleh berpikiran kepada bapak yang akan menolongku ini. Maka dari itu, aku membuang pikiran burukku itu. 

Setelah selesai mendengar ceritaku, bapak polisi itu menelepon seseorang entah siapa. “Tunggu sebentar di sini. Bantuan akan datang.” Perkataan bapak itu spontan membuatku tersenyum bahagia. 

“Ah, senangnya… aku tidak perlu khawatir lagi setelah ini,” batinku. Aku disuruh agar menunggu di tempat itu. Dan perkiraanku tidak tepat. Bahwa mereka datang lebih cepat dari perkiraanku sebelumnya. Mobil hitam mewah dengan dua orang yang berpakaian jas di dalamnya. Aku terpana melihat mobil itu. “Bagaimana bisa seorang polisi biasa bisa memiliki mobil semewah itu?” tanyaku dalam hati. Ketika aku akan menanyakan pertanyaanku itu pada bapak polisi yang berada di belakangku, dia menutupi mulutku dengan sapu tangan berbau tidak enak, dan setelah itu, aku tak tahu. 

*maaf klo ceritanya agak muter2.. aku mbuat cerita ini sampai dgn part 3, udh lama bgt... Tapi aku ushakan konsisten utk part berikutnya~ :)

Who Are You? [Part 1]



    
        Siang itu, setelah bel sekolah berbunyi, aku berjalan pulang dengan malas. Biasanya, aku dijemput papa atau mama. Tapi, hari ini, segudang tugas menunggu mereka. Membuat mereka tak sempat menjemputku. Aku benci sekali hari ini. Jalanan becek, karena sehabis hujan. Awan kelabu masih menitikan air hujan kecil sebagai gerimis. Hmm,.. kebetulan siang tadi teman-temanku mengajakku untuk makan bersama. Padahal, uang sakuku hari ini harus kugunakan untuk naik transportasi umum untuk pulang. Aku tidak enak menolak mereka, karena mereka mengajak setengah memaksa. Bagiku, orang-orang di sekolah ini, aku merasa aneh dengan mereka. Entah aku yang memang kurang bergaul, atau mereka yang tidak suka bergaul, sulit mendapatkan teman di sini. Aku pun harus berusaha mati-matian untuk mendapatkan teman di sini (tidak seimbang antara kerja kerasku dengan hasil yang kudapatkan). Teman-temanku di sini lebih tergolong cuek dan sombong. Mereka juga egois dan termasuk orang yang emosional. Dalam hati aku malas mendekati mereka. Tapi, disamping otakku yang penuh rumus-rumus matematika, aku juga butuh teman sebagai pendamping agar tidak membuat otakku terasa penat.
            Aku berjalan dengan langkah lambat yang lunglai, tak bertenaga. Rumahku cukup jauh dari sekolah, membutuhkan waktu sekitar delapan menit untuk sampai di rumah jika berjalan kaki. Ahhh,.. sekarang aku harus menerima akibatnya. Sudah sepantasnya aku menerima akibat ini, atas semua yang kulakukan. Menjalaninya dengan setengah hati membuatku merasa bahwa sudah lama sekali aku berjalan. Kebetulan, jalan yang kutempuh, melewati beberapa petak tanah tempat kuburan para orang Belanda. Aku terkejut melihat seseorang sedang menggali tanah. Sepertinya akan ada seorang penghuni baru di kuburan tersebut. Kuburan itu sudah termakan usia tak terurus. Masa, ada saja orang yang peristirahatan terakhirnya berada di tempat yang tak terurus seperti itu. Yang lebih-lebih membuatku terkejut, mataku dengan jelas dapat menangkap wajah itu, itu temanku yang berada di desa! Kota yang kutempati ini bagian selatan, berbatasan dengan desa. Jadi keadaan desa dapat dinikmati tanpa harus pergi jauh. Aku dan papa sering bersepeda ke wilayah pedesaan dekat kota kami itu. Dan sering bertemu anak itu, Yong Shin. Dia yang mmberitahukan kepada jalan-jalan di desa agar kami tidak tersesat. “Apa yang sedang dilakukan anak itu?” batinku dalam hati.
            Aku mendekatinya perlahan dengan berdoa dalam hati semoga aku tidak mengganggu masa istirahat mereka. “Hai Yong Shin! Sedang apa kamu di sini?” 
“Hai,Kyuri! Aku? Aku sedang menggali, seperti yang kau lihat,” kata Yong Shin. 
“Bukan. Maksudku, untuk apa?”tanyaku lagi. 
“Huh,..” dia mengawali pembicaraannya. “Kemarin dua orang asing datang kemari dan menawarkan sebuah pekerjaan dengan imbalan yang besar. Sekali menggali satu lubang ini, kami diberi bayaran yang besar. Tapi, dua orang tersebut hanya membutuhkan satu orang untuk menggali, siapa pun itu. Karena aku yang tercepat mendatangi kedua orang tersebut, dan mengatakan bahwa aku bersedia, mereka memilihku. Aku tidak tahu pekerjaanku apa. Mereka hanya menyebutkan bahwa aku harus menggali sedalam 1,2 meter saja. Dengan panjang 2 meter." ujarnya. 
"aku baru mengetahui pekerjaanku ketika mereka mengantarku ke sini. Mereka tak mengatakan apa pun dan meninggalkanku di sini. Kemarin, mereka berjanji menjemputku jam empat sore di sini. Itu kata mereka. Tapi, entah bagaimana nasibku nanti. Apakah aku akan di jemput, atau aku akan tetap berada di sini. Menurutku ini pekerjaan yang aneh, hanya menggali sedalam 1,5 meter untuk jenasah yang akan mendiami lubang ini, aku pikir tidak cukup kedalamannya. Makanya, aku berencana untuk menambah kedalamannya sedalam kurang lebih setengah meter lagi. Kalau kedua orang majikanku itu marah, aku akan mengembalikan tanah yang sudah aku gali agar kedalamannya menjadi 1,5 meter.”